Asal Usul Nama Sumatera Dan Terbentuknya Pulau Sumatera

Asal Usul Nama Sumatera Dan Terbentuknya Pulau Sumatera
Assalamu'alaikum, hai semuanya! apa kabar? Semoga anda semua dalam keadaan sehat wal'afiat yaa, sehingga bisa mengikuti postingan saya ini sampai selesai, aamiin. Postingan saya kali ini akan membahas tentang Asal Usul Nama Sumatera Dan Terbentuknya Pulau Sumatera. Nah kalau begitu tanpa basa-basi lagi, langsung aja yuk kita ikuti pembahasannya dibawah ini.

Asal usul nama Sumatera


Nama Sumatera berawal dari adanya kerajaan Samudera yang terletak di daerah pesisir timur Aceh. Dimulai dengan adanya kunjungan yang dilakukan oleh Ibnu Batutah ke negeri Samudra,  Dia adalah seorang petualang asal Maroko yang datang ke negeri tersebut pada tahun 1345. Batutah menyebut kata Samudera menjadi Samatrah, dan kemudian menjadi Sumatra atau Sumatera. Selanjutnya nama ini tercantum di dalam peta buatan portugis abad ke-16, sehingga dapat dikenal luas sampai saat ini.

Sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, nama asli sumatera adalah "Pulau Emas". Kalau dalam bahasa Minangkabau disebut Pulau Ameh yang berarti pulau emas, cerita rakyat tersebut bisa kita jumpai dalam cerita Cindua Mato dari Minangkabau, Sedangkan dalam cerita rakyat Lampung dikenal dengan nama tanoh mas untuk menyebut pulau Sumatera. Seorang musafir dari Cina yang bernama I-tsing (634-713), yang sudah bertahun-tahun menetap di Sriwijaya, sekarang lebih dikenal dengan kota Palembang, pada abad ke-7 menyebut nama Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti "negeri emas".

Dalam berbagai prasasti, Sumatera disebut dalam bahasa Sanskerta dengan istilah: Suwarnadwipa yang berarti "pulau emas" atau Suwarnabhumi yang berarti "tanah emas". Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua adalah Kitab Jataka, kitab tersebut menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana juga dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa.

Para musafir Arab menyebut Sumatera dengan nama "Serendib", tepatnya "Suwarandib", transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, seorang ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib.  Namun ada juga orang yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilangka, dan tidak menyebut Suwarnadwipa. 

Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, seorang ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, dia menjelaskan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatera, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.

Dalam Naskah Yunani pada tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki dengan chryse nesos, yang artinya ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Nusantara, terutama Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana tercantum dalam naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.

Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan beliau. Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha).

Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera, Gunung Ophir di Pasaman Barat, Sumatera Barat yang sekarang bernama Gunung Talamau. Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ophir Nabi Sulaiman a.s. 

Samudera menjadi Sumatera 

Kata yang pertama kali menyebutkan nama Sumatra berasal dari gelar seorang raja Sriwijaya Haji (raja) adalah Sumatrabhumi yang berarti "Raja tanah Sumatra", berdasarkan berita China ia mengirimkan utusan ke China pada tahun 1017. Pendapat lain menyebutkan nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan abad ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis.

Peralihan Samudera yang merupakan nama kerajaan menjadi nama pulau yaitu Sumatera menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pordenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Dan pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.

Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau "Samatrah". Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama "Camatarra". Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama "Samatara", sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama "Samatra". Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu "Camatra", dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya "Camatora". Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: "Somatra". Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: "Samoterra", "Samotra", "Sumotra", bahkan "Zamatra" dan "Zamatora".

Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatera. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia yaitu, Sumatera. 

Terbentuknya pulau Sumatera 

Sumatera atau Sumatra adalah pulau keenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 443.065,8 km2. Penduduk pulau ini sekitar 52.210.926 (sensus 2010).

Kita sudah tahu bahwa pulau terbesar keenam di dunia itu rawan gempa. Ada patahan sepanjang lebih dari 1.000 km yang aktivitasnya siap mengguncang wilayah sekitarnya. Di lepas pantai, terdapat zona subduksi pemicu gempa dahsyat bermagnitudo 9,1 yang mengakibatkan tsunami mematikan di Aceh pada tahun 2004. 

Namun, tak banyak orang yang tahu tentang bagaimana Sumatera terbentuk. Apakah kampung halaman orang Batak dan Minang itu dari dulu memang cuma satu keping daratan saja? 

Sebelumnya, Sumatera dianggap tepian benua Eurasia. Di lepas pantai bagian barat Sumatera, terdapat zona subduksi tempat bertemunya lempeng samudra Indo-Australia dengan lempeng benua Eurasia. Berdasarkan anggapan tersebut, Sumatera pun dianggap sejak dahulu merupakan satu pulau.


Tetapi, riset terbaru meragukan pandangan lama itu. Menurut data geokimia yang dikumpulkan oleh peneliti geologi dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Iskandar Zulkarnain, Sumatera dulu pulau-pulau yang terpisah, setidaknya ibarat dua bagian daratan yang menyatu.


"Sumatera bukan sepenuhnya bagian dari lempeng benua Eurasia," kata Iskandar dalam orasi pengukuhan dirinya sebagai guru besar riset Agustus 2013 lalu. Berdasarkan hasil analisis geokimia, wilayah Sumatera terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian barat yang merupakan busur kepulauan, bagian timur yang merupakan zona tepian lempeng Eurasia serta wilayah antarlempeng benua.


Di Bengkulu, wilayah yang merupakan bagian dari busur kepulauan adalah kota Bengkulu. Sementara, wilayah yang merupakan tepian Eurasia antara lain Lebok Tambang, dekat Muara Aman.


Kota lain di Sumatera yang diduga merupakan bagian dari busur kepulauan adalah Padang. Sementara, kota yang diduga merupakan bagian tepian Eurasia adalah Jambi, Pekanbaru, dan Palembang. "Batasnya adalah sesar Sumatera,"  ucap Iskandar.


Untuk mengungkap asal-usul Sumatera itu, Iskandar mengumpulkan batuan volkanik dan intrusif di sepanjang Sumatera, diantaranya dari wilayah Lampung, Bengkulu, dan Madina, Sumatera Utara.


Puluhan batuan didapatkan, diantaranya 30 batu volkanik dari Lampung dan 40 batu volkanik dari Bengkulu. Kandungan kimia batuan, termasuk unsur utama (major elements), unsur jejak (trace elements), dan unsur jarang (rare elements) kemudian dilihat.


"Yang kita lihat terutama adalah unsur jejak dan unsur jarang. Kandungan unsur jejak dan unsur jarang pada batuan di busur kepulauan dan lempeng benua berbeda," jelas Iskandar.


Kandungan unsur batuan memang bisa menjadi indikasi asal-usul batuan tersebut, pada lingkungan seperti apa batuan terbentuk. Batu volkanik yang berasal dari lingkungan busur kepulauan memiliki kandungan Potassium, Ytterbium, dan Tantalum lebih tinggi namun Fosfat, Titanium, dan Strontium lebih rendah.


Data unsur dalam batuan yang didapatkan kemudian disusun dalam beberapa diagram, antara lain dalam diagram unsur Tantalum/Ytterbium vs Cerium/Fosfat dan Tantalum/Ytterbium vs Ytterbium. Plot dalam diagram akan menunjukkan sebuah pola. "Pola yang terlihat menunjukkan asal-usul batuan," kata Iskandar.


Di Lampung , wilayah busur kepulauan ditandai dengan rasio Tantalum/Ytterbium kurang dari 2 dan Cerium/Fosfat kurang dari 1,8. Sementara, wilayah tepian benua punya rasio Tantalum/Ytterbium antara 2 hingga 4 dan Cerium/Fosfat lebih dari 1,8. Wilayah antarlempeng memiliki tasium Tantalum/Ytterbium lebh besar dari 6 dan Cerium/Fosfat lebih bersar dari 1.


Iskandar belum mengetahui asal busur kepulauan tersebut dan kapan busur kepulauan menyatu dengan Sumatera. Namun, ia memerkirakan, bersatunya busur kepulauan dengan lempeng benua Eurasia terjadi lebih dari 25 juta tahun lalu, lebih tua dari masa Miocene.


Tiga versi sejarah Sumatera 


Geolog Awang Harun Satyana mengungkapkan, pandangan bahwa Sumatera tidak sepenuhnya merupakan bagian dari Eurasia sudah berkembang lama. Pada tahun 1984, N.R. Cameroon dari British Geological Survey A. Pulunggono dari Pertamina pernah menyampaikan gagasan itu.


Awang mengatakan, berdasarkan gagasan itu, bagian barat Sumatera disusun oleh busur Woyla. Busur lautan itu sekitar 150 juta tahun lalu berlokasi di dekat Australia, bersama daratan India dan Banda. Karena pergerakan tektonik, busur itu kemudian menyatu dengan Sumatera.


"Itu terjadi pada zaman Kapur tengah, sekitar 100 - 80 juta tahun lalu," kata Awang saat dihubungi Kompas.com beberapa waktu lalu.


Makalah yang ditulis oleh Robert Hall, pakar tektonik Asia Tenggara ternama dari University of London, berjudul "Late Jurassic–Cenozoic reconstructions of the Indonesian region and the Indian Ocean" sedikit membahas gagasan tentang bersatu atau naiknya busur Woyla dengan atau ke atas daratan Sumatera.


Pulunggono dan Cameroon, seperti dikutip Hall dalam makalahnya yang diterbitkan Elseveir tahun 2012, mengungkapkan bahwa busur Woyla yang naik ke Sumatera mencakup mikro-kontinen.


Geolog lain, M.R. Wajzer dan A.J. Barber, juga dari University of London, mengatakan bahwa busur Woyla merupakan busur intra-lautan yang terbentuk pada zaman Kapur Awal dan kemudian menumbuk Sumatera.


Hall sendiri menganggap bahwa terdapat mikro kontinen yang menabrak Sumatera pada zaman Kapur itu, yang ditandai dengan naiknya busur Woyla ke atas Sumatera. Mikro kontinen terus bergerak ke timur sehingga menghentikan sistem penunjaman yang ada dan akibatnya hampir tak ada aktivitas vulkanik pada saat itu. 


Robert Hall Rekonstruksi Asia Tenggara 150 juta tahun lalu. Di dekat Australia, terdapat Busur Woyla yang kemudian akan menyatu dengan Sumatera.


Namun, menurut Iskandar, apa yang diungkapkan oleh Pulunggono, Cameroon, Barber, dan Hall sama sekali tidak menyebut adanya bagian Sumatera yang merupakan busur kepulauan.


"Mereka bicara pada Zaman Kapur (sekitar 100 juta tahun yang lalu) karena Woyla Group itu memang usianya sangat tua, sedangkan data saya berasal dari batuan volkanik berusia Miosen (kurang dari 25 juta tahun yang lalu)."


Rovicky Dwi Putrohari dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) mengungkapkan, gagasan bahwa Sumatera terdiri atas busur kepulauan pernah berkembang sebelumnya. Namun, penelitian Iskandar adalah salah satu yang paling awal memberi bukti ilmiah.


"Penelitian ini memberi bukti geokimia bahwa memang bagian barat Sumatera adalah busur kepulauan," katanya. Menurut Rovicky, ada tiga versi sejarah geologi pembentukan Sumatera yang berkembang saat ini. Versi pertama mengungkapkan bahwa pulau Sumatera sepenuhnya bagian dari tepi lempeng benua Eurasia. Versi kedua, seperti yang diyakini Pulunggono, Cameroon, dan Hall, Sumatera terbagi atas lempeng benua Eurasia di bagian timur dan mikro-kontinen di bagian barat.


Sementara, dengan tambahan gagasan Iskandar, ada versi ketiga, dimana Sumatera terdiri dari tepi lempeng benua di bagian timur dan busur kepulauan di bagian barat. 


Mana yang benar? 


Rovicky mengungkapkan, banyak geolog saat ini memandang bahwa Sumatera merupakan lempeng benua Eurasia hanya untuk mempermudah saja.


Pada dasarnya, geolog setuju bahwa Sumatera tidak sepenuhnya merupakan bagian dari Eurasia. Namun, komponen lain Sumatera dan pembentukannya masih menjadi perdebatan. 


Apa pentingnya sejarah Sumatera? 


Iskandar mengungkapkan, pengetahuan tentang asal-usul Sumatera penting baik bagi kebencanaan maupun dalam bidang mineralogi.


Menurut Iskandar, bila Sumatera memang terdiri atas busur kepulauan dan lempeng benua Eurasia, gagasan itu juga harus diadaptasi dalam kebencanaan.


"Kalau berasal dari busur kepulauan yang merupakan samudera dan lempeng benua atau kontinen, maka pergerakan lempeng lebih fleksibel sehingga potensi gempa lebih besar," katanya.


Rovicky menuturkan, potensi gempa juga akan lebih besar bila bagian barat Sumatera tersusun atas mikro-kontinen.
"Akan lebih rapuh," paparnya.

Dalam bidang mineralogi, Iskandar mengatakan,  gagasan baru pembentukan Sumatera ini juga akan memengaruhi pengetahuan tentang penyebaran logam di Sumatera. "Wilayah timur Sumatera mungkin juga menyimpan logam berharga," kata Iskandar.



LihatTutupKomentar