Menapaki Jejak-jejak Kota Depok

Menapaki Jejak-jejak Kota Depok
Sebagai seorang yang hampir separuh hidupnya tinggal di Depok, saya mengecap indah dan nyamannya tinggal di kota Depok. Yach selama hampir 15 tahun saya tinggal di kota tersebut, jadi begitu banyak tempat yang meninggalkan kenangan pahit, manis, getir, indah dan syahdu buat saya. Untuk menambah kecintaan saya pada Depok, berikut akan saya ajak anda untuk menapaki jejak-jejak kota depok, check it out.

Kota Madya Depok (dulunya kota administratif) dikenal sebagai penyangga ibukota, atau sering disebut dengan kota satelit, mirip dengan status Bekasi, Tangerang, dan Bogor. Para penghuni yang mendiami wilayah Depok sebagian besar berasal dari pindahan orang Jakarta. Tak heran kalau dulu muncul pameo singkatan Depok adalah Daerah Elit Pemukiman Orang Kota. Mereka banyak mendiami perumahan nasional (Perumnas), membangun rumah ataupun membuat pemukiman baru.

Pada akhir tahun 70-an masyarakat Jakarta masih ragu untuk mendiami wilayah itu. Selain jauh dari pusat kota Jakarta, kawasan depok masih sepi dan banyak diliputi perkebunan dan semak belukar. Angkutan umum masih jarang, dan mengandalkan pada angkutan kereta api. Seiring dengan perkembangan zaman, wajah Depok mulai berubah. Pembangunan disana-sini gencar dilakukan oleh pemerintah setempat. Pusat hiburan seperti Plaza, Mall telah berdiri megah. Kini Depok telah menyandang predikat kotamadya dimana selama 17 tahun menjadi Kotif.

Depok Tempo Dulu

Dahulu, Depok dan Bogor menjadi wilayah kekuasaan VOC sejak 17 April 1684, yaitu sejak ditandatanganinya perjanjian antara sultan haji dari Banten dengan VOC. Pasal tiga dari perjanjian tersebut adalah Cisadane sampai ke hulu menjadi batas wilayah kesultanan Banten dengan wilayah kekuasaan VOC. Saat pemerintahan Daendels, banyak tanah di Pulau Jawa dijual kepada swasta, sehingga muncullah tuan tanah-tuan tanah baru. Di daerah Depok terdapat tuan tanah Pondok Cina, Tuan Tanah Mampang, Tuan Tanah Cinere, Tuan Tanah Citayam dan Tuan Tanah Bojong Gede.

Ada yang mengatakan bahwa nama “Depok” adalah singkatan dari “De Eerste Protestants Onderdaan Kerk“, yang artinya “Gereja Kristen Rakyat Pertama” atau “Gereja Warganegara Protestan Pertama”. Menurut versi ini, nama Depok berkaitan dengan sejarah keberadaan Kristen di Depok. Ini semua tidak terlepas Dari tokohnya, yaitu Cornelis Chastelin (1657-1714).

Jalan panjang Cornelis Chastelein dari Amsterdam

Ratusan tahun lalu, Cornelis Chastelein seorang laki-laki kelahiran Amsterdam, Belanda, 10 Agustus 1657 ini, membangun perkampungan Depok bersama sekitar 120 budaknya yang dia bawa dari berbagai wilayah di Nusantara.

Para pekerja tersebut terdiri dari 12 marga, yaitu Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh. 12 Marga inilah yang akhirnya menjadi bagian dari cikal bakal perkembangan masyarakat Depok.

Pada usia 17 tahun, tepatnya 24 Januari 1674, bungsu dari delapan bersaudara in berlayar selama 223 hari dari negeri Belanda menuju Oost Indie (Indonesia—Red) dengan kapal Huys Te Cleef, dan bekerja sebagai Book Houder-Kamer XVII atau Kamar Dagang VOC.

Menginjak usianya yang ke-25 ditahun 1682, anak dari pasangan Anthony Chastelein (Prancis) dan Maria Cruydeneir (Dorderecht, Belanda) ini dipercaya VOC untuk menjabat Groot Winkelier der Oost Indische Compagnie.

Dalam perjalanan hidupnya, Cornelis bertemu Chatarina van Qualberg dan menikahinya. Pasangan ini dikaruniai seorang putra yang diberi nama Anthony Chastelein.

Di tahun 1691, Cornelis naik jabatan menjadi Twede Opperkoopman des Casteels Batavia dengan gaji 65 gulden. Di tahun yang sama, Gubernur Jenderal Comphuys meletakan jabatan, dan digantikan oleh Gubernur Jenderal van Outhoorn (1691-1704).

Hanya saja, politik dagang yang diterapkan Willem van Outhoorn rupanya tak sesuai dengan falsafah hidup dan prinsip-prinsip Chastelein. Dengan alasan kesehatan, Chastelein menyatakan mengundurkan diri dari VOC.

Usai mengundurkan diri dari VOC, tahun 1693 Cornelis membeli tanah yang sekarang berdiri Rumah Sakit Militer Gatot Subroto. Kemudian ia memperluas wilayahnya ke Pintu Air, Jakarta Pusat, sampai Bungur Besar, Senen Raya-termasuk Pasar Senen sekarang-sampai ke Kwitang dan sepanjang kali Ciliwung sampai Pintu Air lagi.

Di Senen Raya, tepatnya Gg Kenanga, dia mendirikan tempat tinggalnya yang cukup megah. Bangunannya dihiasi taman-taman yang indah dengan parit-parit di sekelilingnya.

Sedangkan daerah Kwini dijadikanmya kebun tebu, yang hasilnya merupakan bahan baku bagi pabrik gula miliknya yang dibangun di sekitar tempat itu juga-kira-kira di lokasi Departemen Luar Negeri sekarang.

Di Gang Kwini, Chastelein juga sempat membangun sebuah kebun binatang yang koleksinya memenuhi persyaratan, sehingga proyek itu dikenal sebagai kebun binatang pertama di Indonesia.

Secara keseluruhan, pada kawasan tersebut berdiri sejumlah bangunan megah yang dikelilingi taman bunga dan parit-parit. Penataannya menciptakan suasana tenteram, sehingga menimbulkan kenyamanan dan kepuasan.

Suasananya inilah yang mengilhami nama Weltevreden. Nama inilah yang kini dikenal sebagai daerah Gambir. Kabarnya, 15 Oktober 1695, Cornelis membeli sebidang tanah di daerah Sringsing (sekarang Lenteng Agung, Srengseng). Setahun kemudian, tepatnya tanggal 18 Mei 1696, daerah Sringsing diperluas 4 pal ke arah selatan yaitu Tanah Depok.

Nama Depok telah ada sebelum tanah tersebut dimilikinya. Jadi, jika ada versi yang menyebutkan nama Depok berasal dari kata D’ VOC, tidaklah benar.

Berbagai sumber menyebut, nama Depok telah ada sejak jaman Hindu. Literatur lain mengatakan Depok berasal dari kata Padepokan, karena dulunya wilayah ini dijadikan tempat menuntut atau memperdalam ilmu.

Di Depok inilah kemudian Cornelis bermukim hingga akhir hayat bersama para pekerjanya. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, Cornelis Chastelein menyampaikan testamen kepada 12 pekerjanya.

Pada tanggal 18 Mei 1696, dalam maklumat tertulisnya, Cornelis menjanjikan tanah kepada seluruh pekerjanya dan membebaskan dari perbudakan, apabila bersedia memeluk agama yang dianutnya. Tapi, testamen pertamanya itu masih belum lengkap, sehingga pada 4 Juli 1696 dilakukan revisi penyempurnaan.

Sejarah mencatat, tahun 1704 VOC kembali meminta Cornelis untuk kembali bekerja. Dia diberi posisi Road Extra Ordinaris dengan gaji 200 gulden. Entah karena apa, tidak lama kemudian, Chastelein kembali mengundurkan diri.

Sesudah itu, hari-harinya dihabiskan dengan menulis buku mengenai renungan dan catatan daerah jajahan dengan judul Invallende Gedachlen ende Aanmerkengen Over Kolonien.

Pada tanggal 17 Juli 1708 untuk ketiga kalinya dia menyempurnakan testamennya. Sementara surat wasiat keempat tertanggal 21 Maret 1711 dianggapnya tak berlaku, sehingga dirobeknya.

Testamen kelima dibuatnya di hadapan notaris Nick van Haeften di Batavia 13 Maret 1714. Isinya merupakan penyempurnaan dari wasiat sebelumnya, sekaligus mempertegas pembatalan testamen sebelumnya.

Di usia ke 57, tepatnya tanggal 29 Juni 1714 Cornelis Chastelein wafat. Dia meninggalkan surat wasiat untuk para pekerjanya yang tergabung dalam 12 marga, yaitu, Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh.

Isi surat wasiat itu menjelaskan antara lain bahwa harta kekayaan Chastelein berupa tanah, bangunan, alat pertanian, alat kesenian dan lainnya dihibahkan kepada 12 marga yang pernah menjadi pekerjanya. Chastelein juga memberikan wejangan agar proses pembagian warisannya dilakukan secara adil dan bijaksana.

Duka yang menyelimuti keluarga Chastelein seolah-olah datang beruntun. Tak lama setelah kematiannya, putra Chastelein, Anthony, wafat pada 1715. Anthony belum sempat melaksanakan amanah ayahnya, merampungkan proses balik nama milik mendiang Cornelis Chastelein atas nama Kaoem Depok.

Dipimpin G Jonathans, Depok Jadi Negara

Kehadiran Cornelis Chastelein di Depok tahun 1696 membawa perubahan terhadap kota yang kala itu tidak bertuan. Bahkan, kehadiran Cornelis tak ubahnya pahlawan.

“Konon, Cornelis mempunyai kemiripan dengan salah satu tokoh pergerakan bangsa Indonesia yaitu Multatuli alias Dr. Douwes Dekker sang penulis buku Max Havelaar. Kedua tokoh ini sama-sama menentang kebijakan VOC (kompeni) di Hindia Belanda pada masa itu…” YLCC dalam makalah Depok tempo doeloe, sekarang dan akan datang.

Dahulu, luas wilayah Depok hanya 1.244 hektare. “Dari utara ke selatan, mulai dari kantor Balaikota yang sekarang sampai tanjakan kober Ratujaya. Dari barat ke timur, mulai dari bioskop Sandra sampai jembatan Panus naik sedikit…” Ketua YLCC, Valentino Jonathans menjelaskan.

“Sebelah utara berbatasan dengan Kp. Manggis, sebelah selatan berbatasan dengan Ratujaya, sebelah barat berbatasan dengan Kp. Sengon dan Kp. Pitara, sebelah timur berbatasan dengan Kp. Poncol dan Cikumpa,” imbuhnya.

Peta overgedrukt uit het jaarboek den topographischen dienst over 1917 yang tertera dalam buku berjudul Sporen Uit Het Verleden Van Depok Een Nalatenschop Van Cornelis Chastelein (1657-1714) Uan Zijnvrijge Maak Te Christen Salaven, buah karya Jan Karel Kwisthout, membenarkan pernyataan itu.

Menurut Valentino, bangunan pertama yang ada di Depok adalah pemukiman di sekitar Sungai Ciliwung. “Orang-orang tua dulu bilang, itu karena sarana transportasi saat itu memanfaatkan aliran sungai Ciliwung.”

Pembebasan Budak

28 Juni 1712, Cornelis Chastelein menuliskan surat testamen (surat wasiat--Red). Substansi pesannya, jika ajal menjemput, maka para budaknya dari 12 marga, Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh, dibebaskan dan kepada mereka dibagikan harta benda Cornelis. 

“Berikoet lagi akoe memardahekakan samoewa boedak-boedak….laki-laki dan perampoean beserta anak-anak dan tjoejoe-tjoetjoenja…” (testamen hal 7). “Maka akoe poesakakan boedak-boedak mardaheka sepotong tanah…..(testamen hal 9) “Maka sekalian orang-orang di Depok jang satoe tijada dibedakan dari jang lain….(testamen hal 38).

Kemudian, di halaman 13 makalah YLCC, disebutkan surat wasiat tersebut berlaku sejak tanggal meninggalnya Cornelis, yakni 28 Juni 1714.

“Maka oleh Kaoem Depok setiap tanggal 28 Juni diperingati sebagai hari Chastelein, kemudian berubah menjadi hari terbentuknya masyarakat masehi yang sudah dibebaskan dari ikatan perbudakan, tanggal tersebut dikenang sebagai hari ulang tahun jemaat masehi Depok,” tulis YLCC.

Namun, dalam perjalanannya, Zadokh menghilang dari 12 marga ini. Hanya saja, hilangnya marga Zadokh dari Depok hingga kini tidak diketahui penyebabnya.

Jadi Negara

Para budak yang sudah mardaheka (merdeka--Red), kemudian beranak pinak, berkembang dan membentuk tatanan pemerintahan sendiri di Depok.

Sejarah mencatat, tatanan organisasi Gemeente Bestuur Depok mulai disusun pada tahun 1871 oleh seorang pengacara dari Batavia, Mr.M.H. Klein yang menyusun suatu konsep reglement yang berisikan pembentukan organisasi dan pimpinan desa (St desa zelfbestuur) yang pengaturannya bercorak republik.

Kemudian pada tanggal 28 Januari 1886 disusunlah Reglement Van Het Land Depok. Di tahun 1891 diadakan revisi kecil, dan pada tanggal 14 Januari 1913 reglement tersebut kembali direvisi untuk memenuhi keadaan.

Reglement tersebut ditandatangani oleh G. Jonathans sebagai Presiden dan M.F Jonathans sebagai Sekretaris. Adapun jabatan yang diatur dalam reglement, seorang presiden, seorang sekretaris, seorang bendahara dan dua orang gecomitteerden. (makalah YLCC hal. 20).

Pusat pemerintahan Depok masa itu berlokasi di kawasan Jl. Pemuda, Pancoran Mas. Rumah sang Presiden Depok, sampai hari ini masih berdiri kokoh, yakni rumah tua yang posisinya persis di depan Rumah Sakit Harapan.

Sedangkan Rumah Sakit Harapan sendiri dulunya adalah kantor Gemeente Bestuur van Depok (kantor pemerintah--Red). “Dulu hasil bumi Depok dikumpulin di situ. Untuk kemudian didistribusikan lagi kepada masyarakat Depok secara merata,” ungkap Valentino.

Dan untuk mengenang Chastelein, 28 Juni 1814 dibangun monumen peringatan 100 tahun wafatnya Cornelis Chastelein di depan kantor Gemeente Bestuur van Depok.
Hanya saja tahun 1960 monument tersebut dibongkar secara paksa oleh masyarakat Depok non eks budak Chastelein, yang beranggapan monumen tersebut merupakan lambang kolonial.

Berbagai sumber mempercayai di lokasi eks monumen tersebut Cornelis Chastelein dimakamkan. Namun tidak ada fakta yang memperkuat dugaan tersebut. Hingga hari ini, makam Cornelis Chastelein tak diketahui rimbanya.

Rumah yang ditempati oleh Cornelis pada masa lalu, juga di Jl Pemuda. Sekarang rumah tersebut berubah fungsi menjadi SMP Kasih.

Seorang pakar ethnographic, Graafland, mengatakan, sulit menggolongkan kaum Depok dalam tipe pribumi tertentu. Sejak awal mereka suatu mixtum compositum-komposisi campuran dari berbagai suku bangsa. Bali, Makassar, Minahasa, Timor yang kemudian dimasuki wanita-wanita dari rumpun Melayu, Sunda, Jawa dan Eropa.

Dia menuliskan hal itu tahun 1891, dalam buletin Nederlandsche Zending Genootschap dalam artikel berjudul Land en Volkunde Van Nederlandsche Indie-Depok Eene Ethnographische studie.

Kaoem Depok menamakan dirinya Orang Depok Asli atau Orang Depok Dalam. “Seharusnya identitas kaoem Depok sebagai suku baru yang sejak tahun 1696 terbentuk sebagai suku Bhinneka,” YLCC hal. 9. Kaum Depok inilah yang disebut-sebut kalangan pada waktu itu sebagai Belanda Depok.

Tanggal 31 Maret 1912, Nederlands Indische Verenig Ing Tot Natuur Berscherming (perhimpunan perlindungan alam Hindia Belanda) dengan Ge Meente Depok untuk mendirikan Cagar Alam Depok seluas 6 hektar (sekarang Taman Hutan Raya).

Pendirian cagar alam tersebut dilaporkan kepada Prof. Dr O Porsch di Wina, Austria. Dan dinyatakan secara resmi bahwa Cagar Alam Depok di Pancoran Mas adalah cagar alam pertama di Indonesia.

Orientasi Berubah, Mimpi Belum Terwujud

Setelah Cornelis Chastelein meletakkan dasar pemerintahan, lambat laun terjadi perubahan di Depok. Pada 4 Agustus 1952, Pemerintah Indonesia mengeluarkan uang ganti rugi tanah sebesar Rp229.261,26 dan seluruh tanah partikelir Depok menjadi hak pemerintah, kecuali hal eigendom dan sejumlah bangunan seperti gereja, sekolah, balai pertemuan dan pemakaman.

Sejak saat itu pula didirikan Lembaga Cornelis Chastelein (LCC), sebuah organisasi sosial yang mengurus sekolah, pemakaman dan kesejahteraan penduduk Depok kala itu.
Dan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat, Depok akhirnya dimasukkan dalam wilayah Jawa Barat dan termasuk dalam wilayah pengembangan Botabek dengan fungsi sebagai penyangga Jakarta.

Meski demikian, sekitar tahun 1967-1982 Depok masih dikenal menyeramkan. Bahkan, sebagian orang disebut sebagai tempat jin buang anak.

Mengenai seramnya wilayah Depok tempo dulu, mantan Sekretaris Desa Sukmajaya, H Usman mempunyai pengalaman menarik. Usman yang kini berusia 62 tahun, menjabat Sekretaris Desa Sukmajaya pada 1967-1978 menuturkan julukan Depok sebagai tempat jin buang anak dikarenakan wilayah ini banyak ditumbuhi pohon bambu dan karet.

Menurutnya, warga saat itu tidak berani keluar rumah menjelang malam warga karena tempatnya menyeramkan.

“Tahun 1967-1975 jalan masih tanah di pemakaman Kober, Lemperes (kawasan Jl KSU Sukmajaya). Jika ada mobil lewat tanpa membunyikan klakson, mobilnya mati mendadak,” cerita H. Usman yang saat ini tinggal di kawasan Pedati, Sukmajaya.

Saat menjadi Sekretaris Desa, menurut Usman, Desa Sukmajaya masuk dalam wilayah Kecamatan Cimanggis. Untuk mengikuti rapat minggon (rapat rutin mingguan), ia harus berjalan kaki sepanjang 3,5 km dari Jl Tole Iskandar (kantor Desa) Sukmajaya ke Jl Raya Bogor. “Kalo ketinggalan truk, ya jalan kaki,” terangnya.

Yang memprihatinkan sehabis hujan, jalan becek. Untuk menyemir sepatu pun sulit. Namun tidak kalah akal, agar sepatu mengkilap dia bakar daun pepaya kemudian dioleskan ke sepatunya sebagai pengganti semir sepatu.

Usman yang memiliki keluarga besar di kawasan Sukmajaya ini, juga pernah menjabat Kepala Desa pada 1978-1982 dan hingga tahun 2006 jabatan terakhir sebagai lurah Tirtajaya, Kec. Sukmajaya. Dan pada saat Kades Mekerjaya menghibahkan tanah untuk kantor desa dan sekolah dasar 1979, yang hingga sekarang ini menjadi kantor Kelurahan Mekarjaya.

Sukmajaya sendiri mulai ramai saat Perumnas Depok II Tengah seluas 117 ha dibangun tahun 1977 dan mulai dihuni tahun 1978. Di tahun yang sama Perumnas Depok II Timur dibangun seluas 170 ha.

Menurutnya, pemekaran dari Kec.Cimanggis menjadi Kecamatan Sukmajaya pada tahun 1982. Ketika itu, Sukmajaya hanya memliki 5 desa, yaitu Sukmajaya, Sukamaju, Kalimulya, Kalibaru, Cisalak.

Seiring bertambahnya penduduk, terjadi pemekaran dan hingga kini Sukmajaya menjadi 11 kelurahan, yaitu Kelurahan Mekarjaya, Cisalak, Baktijaya, Abadijaya, Tirtajaya, Sukmajaya, Sukamaju, Cilodong, Kalimulya, Kalibaru dan Jatimulya.
 
Jalan Margonda.

Margonda adalah sebuah nama jalan utama di Depok, Jawa Barat. Margonda memiliki lebar 32 meter dan merupakan pintu masuk Kota Depok dari arah Jakarta. Tidak banyak yang tahu asal muasal nama Margonda. Margonda adalah nama tokoh legendaris setempat yang berjasa pada masa Penjajahan Jepang dan Belanda.

Jalan Margonda Saat Ini
Bek Margonda, kabarnya nama itu yang lebih dikenal oleh orang-orang lama Depok. Sampai sekarang tidak ada yang tahu persis sejarah kepahlawanan Margonda. Keluarga Margonda sendiri (kabarnya ada di Cipayung, Depok) sampai sekarang belum dapat memberikan informasi mengenai sepak terjang atau dimana makam Margonda. 

Jalan Tole Iskandar

Jalan Tole Iskandar merupakan akses satu-satunya menuju Stasiun Depok maupun Terminal Depok. Setiap hari jalan itu dilintasi warga untuk menuju ke Jakarta. Baik oleh pengguna jasa angkutan kereta api, bus, angkot, maupun kendaraan pribadi. Aneh rasanya kalau warga Depok Dua Tengah dan Depok Dua Timur tak kenal dengan nama jalan itu. Namun, bukan berarti setiap orang yang melintas di Jalan Tole Iskandar mahfum dengan si pemilik nama tersebut.

Jalan Tole Iskandar Kota Depok

Berbeda dengan Margonda, informasi mengenai Tole Iskandar sedikit lebih jelas. Sepak terjang pahlawan ini di masa penjajahan Jepang sedikit banyak sudah tercatat dalam Perda Nomor 1/1999 tentang Hari Jadi dan Lambang Kota Depok. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Heiho dan Peta (Pembela Tanah Air) dibubarkan. 

Putra-putra Heiho dan Peta kembali ke kampungnya. Mereka diperbolehkan membawa perlengkapan kecuali senjata. Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, para pemuda Depok, khususnya bekas Heiho dan Peta terpanggil hatinya untuk berjuang. 

Pada September 1945, diadakan rapat pertama kali di sebuah rumah di Jalan Citayam (sekarang Jalan Kartini). Hadir diantaranya seorang bekas Peta, yakni Tole Iskandar berikut tujuh orang bekas Heiho dan 13 orang pemuda Depok lainnya. Pada rapat tersebut diputuskan dibentuk Barisan Keamanan Depok yang keseluruhannya berjumlah 21 orang. Tole Iskandar akhirnya terpilih menjadi komandan. Merekalah cikal bakal perjuangan di Depok. 

Depok Jadi Kotamadya 

Depok Jadi Kotamadya

Saat ini Depok merupakan salah satu wilayah termuda di Jawa Barat dengan luas wilayah sekitar 207.006 km2 yang berbatasan dengan tiga kabupaten dan satu provinsi. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan masuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, dan Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Parung dan Ke­camatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor.

Pada 27 April 1999 Depok bahkan menaikkan statusnya dari Kota Administratif menjadi Kotamadya, sekaligus menandakan pemisahan diri dari Kabupaten Bogor. Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan DPRD Kabupaten Bogor, 16 Mei 1994, Nomor 135/SK, DPRD/03/1994 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Keputusan DPRD Propinsi Jawa Barat, 7 Juli 1997 Nomor 135/Kep, Dewan.06IDPRD/1997 tentang Persetujuan Pembentukan Kota Madya Daerah Tingkat II Depok maka pembentukan Kota Depok sebagai wilayah administratif baru ditetapkan berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1999, tentang pembentukan Kota Madya Daerah Tk. II Depok yang ditetapkan pada 20 April 1999.

Ini juga yang menjadi dasar penetapan hari jadi Kota Depok, meski hingga kini polemik dan masih banyak yang menolak penetapan 27 April menjadi HUT Kota Depok.

Orientasi Depok pun mulai berubah ubah. Mulai dari dari kota pendidikan dengan hadirnya sejumlah kampus besar seperti Universitas Indonesia, Gunadarma dan lainnya.

Depok juga mengenalkan dirinya sebagai kota perdagangan dan jasa dengan indikasi hadirnya pusat-pusat perbelanjaan modern seperti, Mall Depok, Plaza Depok, Borobudur dan Goro yang sekarang telah bangkrut, Mall Cinere, Mall Cimanggis, ITC Depok, Depok Town Center (DTC), Depok Town Square (Detos) dan Margo City Square.

Sejumlah kebijakan juga telah menyapa Depok. Dan yang paling anyar adalah santunan kematian serta pengolahan sampah. Kota ini juga acap kali dijadikan pilot project suatu program dari pemerintah pusat seperti pilkada, konversi minyak tanah ke gas dan RW siaga.



LihatTutupKomentar